BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan di sekolah bisa hanya menghasilkan
lulusan yang memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki penghayatan terhadap
pengetahuan tersebut. Pendidikan seperti ini adalah pendidikan yang tidak
membudayakan. Aspek pembudayaan dalam pendidikan belum banyak disentuh baik
pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat sekolah. Sejumlah kendala
teridentifkasi, seperti merosotnya kewibawaan profesi guru, budaya top-down,
sistem pendidikan guru yang cognitive-oriented, serta kualitas dan
dedikasi guru yang rendah. Sejumlah saran pemecahan masalah dikemukakan untuk
memantapkan profesionalisme tenaga kependidikan dan untuk mewujudkan pendidikan
yang membudayakan.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur
sosial dan budaya. Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak
terlepas dari kelompok manusia lainnya. Karena hal itu dikatakan bahwa manusia
adalah mahluk sosial karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta
orang lain. Sosial budaya ini tercermin pada kegiatan sekelompok manusia secara
bersama-sama.Hal-hal yang dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk
pekerjaan yang diinginkan merupakan unsur sebuah budaya.Maka, aspek sosial
ditinjau dari hubungan antarindividu, antar masyarakat serta aspek budaya
ditinjau dari proses pendidikan manusia tersebut melalui materi yang di
pelajari, cara belajarnya, bagaimana gaya belajarnya, bentuk- bentuk belajar
serta pengajaranya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan
sadar dan disengaja secara penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada
anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai
kedewasaan yang dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap berkesinambungan
di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah,
masyarakat)unsur sosial merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak
manusia itu lahir. Langeveld mengatakan “setiap bayi yang lahir dikaruani
potensi sosialitas atau kemampuan untuk bergaul, saling berkomunikasi yang pada
hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan saling menerima (Umar
Tirtarahardja, 2005:18). Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari,
saat terjadi interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang lain atau
individu dengan kelompok, serta antar kelompok. Didalam interaksi ini ada
keterkaitan yang saling mempengaruhi (Abu Ahmadi, 2003:13)
Pendidikan adalah sala satu bentuk interaksi manusia. Pendidikan
adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu
jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan
hubungan-hubungan dan peranan peranan individu di dalamnyalah yang menentukan
watak pendidikan di suatu masyarakat.
Sebagaimana di maklumi bahwa yang hendak dituju oleh pendidikan
nasional ialah pendidikan yang yang menuju kepada
masyarakat industri yang tidak terlepas dari tujuan politik ideologi bangsa
kita sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945, Pancasila dan
GBHN. Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi dan tujuan
pendidikan, yaitu : Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945; Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemajuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya
mewujudkan tujuan nasional; Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekertu luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.
Sekolah, yang merupakan institusi formal untuk belajar,
mengharuskan sejumlah persyaratan kepada pendidikan. Akibatnya, belajar di
sekolah sangat berlainan dengan yang berlaku di dalam keluarga, dalam
teman-teman sebaya, atau dalam komunitas. Jadi pendidikan dalam pengertiannya
yang sangat luas dapat dianggap sebagai suatu proses sosialisasi yang
melaluinya seseorang mempelajari cara hidupnya.
Jika politik
dipahami sebagai “ praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat
dan pembuatan keputusan- keputusan otoritatif tentang alokasi sumberdaya dan
nilai- nilai sosila”. Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah
bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga- lembaga
pendidikan. Bahkan menurut Baldridge, lembaga- lembaga pendidikan dipandang
sebagai sitem politik mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-
sistem politik
Pendidikan adalah suatu proses pengajaran
dan pembelajaran yang melibatkan perhubungan atau komunikasi dan interaksi di
antara individu dengan individu yang lain seperti seorang ibu dengan anaknya
atau seorang pengikut dengan ketuanya atau seumpamanya. Ia juga boleh berlaku
di antara individu dengan beberapa individu yang lain seperti di antara seorang
anak dengan kedua ibu bapa atau keluarganya atau dengan rakan sebaya, seorang
guru dengan murid-muridnya atau seumpamanya. Oleh kerana pendidikan adalah
suatu proses penerimaan dan penyebaran maklumat, maka ilmu dan budaya yang
tersebar secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan
fizikal, sosial dan rohani manusia. Proses ini berlaku sehingga manusia
mencapai keserasian dalam kehidupannya yang perlu berinteraksi dengan individu
dan masyarakat serta alam dan dalam keperluan perhubungan beribadah kepada
Tuhan.
Sistem pendidikan bertujuan melahirkan insan yang seimbang daripada
segi jasmani, emosi, intelek, dan rohani seterusnya berupaya berperanan sebagai
warganegara produktif yang mampu mendukung visi dan misi negara. Bagi
merealisasikan tujuan tersebut pemerintah telah berusaha memastikan peraturan
Induk Pembangunan Pendidikan dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
Menurut Hopkins (2005), kajian-kajian menunjukkan salah satu faktor
penghalang kepada pencapaian sekolah ialah budaya organisasi sekolah. Justeru,
reformasi pendidikan harus memberi fokus kepada budaya terlebih dahulu
sekiranya mutu pendidikan hendak ditingkatkan. Sekolah-sekolah harus mempunyai
persamaan dari segi, kurikulum, bentuk bangunan, kelayakan guru, dan prasarana.
Namun yang membedakan sekolah ialah unsur budaya sekolah dan unsur inilah yang
dikatakan penentu pada kebermaknaan sekolah (Bolman & Deal, 1991; Huberman,
1992; Sharifah, 2000). Memandangkan budaya dibentuk oleh warganya, maka budaya
boleh berubah dan orang yang paling berpengaruh untuk mengubah dan mencorakkan
budaya sekolah ialah kepemimpinan sekolah (Deal & Peterson, 1999;
Sergiovanni, 2000).
Meningkatkan martabat kemanusiaan melalui
pendidikan tidak bisa dicapai hanya melalui proses pembelajaran yang melibatkan
aspek kognitif peserta didik saja. Tidak ju-ga hal ini bisa dicapai dengan
mudah dan dalam waktu yang singkat. Prosesnya melibat-kan akumulasi pemahaman
yang mendalam tentang hakikat manusia dan dimensi-dimensinya, penghayatan
nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta pengujian perilaku secara
bertahap dalam perikehidupan yang nyata. Proses pendidikan seperti ini tidak
bisa lepas dari konteks kemasyarakatan, dan karena setiap masyarakat adalah
pen-dukung suatu kebudayaan, maka setiap ikhtiar pendidikan adalah juga proses
pem-budayaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Adakah
hubungan budaya dengan pendidikan?
2.
Apa
saja Kendala-Kendala Pembudayaan dalam
Pendidikan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui hubungan budaya dengan pendidikan
2.
Untuk
mengetahui Kendala-Kendala
Pembudayaan dalam Pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Budaya Dengan Pendidikan
Kebudayaan menurut Taylor
adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan, 1989)
Hassan (1983) misalnya
mengatakan kebudayaan berisikan : (1) norma-norma, (2) folkways yang mencakup
kebiasaan, adat, dan tradisi, dan (3) mores. Sementara itu Imran Manan (1989)
menunjukkan lima komponen kebudayaan sebagai berikut : (1) Gagasan, (2)
Ideologi, (3) Norma, (4) Teknologi, dan (5) Benda. Agar menjadi lengkap, perlu
ditambah beberapa komponen lagi yaitu : (1) Kesenian, (2) Ilmu dan (3) Kepandaian.
Kebudayaan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : (1) Kebudayaan umum, misalnya
kebudayaan Indonesia, (2) Kebudayaan daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Bali,
Sunda, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya dan (3) Kebudayaan popular, yaitu suatu
kebudayaan yang masa berlakunya rata-rata lebih pendek daripada kedua
macam kebudayaan terdahulu.
Fungsi kebudayaan dalam
kehidupan manusia adalah : (a) Penerus keturunan dan pengasuh anak, (b)
Pengembangan kehidupan berekonomi, (c) Transmisi budaya, (d) Meningkatkan iman
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha esa, (e) Pengendalian sosial, (f) Rekreasi
Perubahan kebudayaan
disebabkan oleh : (a) Originasi atau penemua-penemua baru, (b) Difusi atau
percampuran budaya baru dengan budaya lama, (c) Reinterpretasi atau modifikasi
kebudayaan agar sesuai dengan keadaan zaman
Budaya sekolah
merupakan sebahagian budaya masyarakat kerana sekolah itu lahir daripada
keperluan masyarakat. Semua pelajar sekolah terus didedahkan kepada norma,
nilai, simbol dan bahasa yang akan mencorak masa depan mereka. Budaya sekolah
ialah budaya yang dihasilkan oleh sebahagian pelajar dan sebahagian lagi oleh
golongan tertentu supaya aktiviti pelajar dapat dikawal. Pendidikan nilai amat
diutamakan. Pembudayaan di sekolah dilaksanakan menerusi kurikulum formal dan
kurikulum tidak formal. Di dalam budaya sekolah ini, terkandungnya corak idea,
norma, pemikiran, dan nilai-nilai yang menyumbang kepada pembentukan kelakuan
individu. Guru Besar dan Pengetua sebagai ketua di sekolah haruslah mempelopori
atau menjadi juara sesuatu budaya yang positif dan kesannya, ini akan menjadi
ikutan dan akan dikenang sepanjang zaman.
Terdapat beberapa
contoh budaya yang perlu disemai seperti budaya penyayang, budaya
hormat-menghormati, budaya berani menyoal dan budaya membaca. setiap budaya
yang dinyatakan perlulah diiringi dengan pelbagai aktiviti yang berkaitan
contohnya budaya membaca dimana, projek nilam diadakan pada setiap hari sebelum
sesi pengajaran dan pembelajaran (P&P) dijalankan. Di dalam projek nilam ini,
setiap pelajar yang telah habis membaca sesebuah buku, haruslah mencatat
laporan ringkas buku yang telah dibaca itu tadi.
Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan.
Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap
kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis,
bukan sesuatu yang kaku dan statik. Budaya tidak tidak diertikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih bermaksud
sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya
budaya itu?
Tentang
pedefinisian kebudayaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tokoh
antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Sebagian ahli membedakan antara
pengertian budaya dengan kebudayaan. Budaya sering diartikan sebagai “konsep
pemikiran”, sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan
produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, “Budaya
berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari
sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan
arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut
dengan culture,
berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau
megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia,
juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan.
“budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan
diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia ,
seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983)
Marvin seperti disampaikan oleh Alan dan Philip
(1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita
melakukan hal-hal di sini”.
Budaya sekolah merupakan
sebahagian budaya masyarakat kerana sekolah itu lahir daripada keperluan
masyarakat. Semua pelajar sekolah terus didedahkan kepada norma, nilai, simbol
dan bahasa yang akan mencorak masa depan mereka. Budaya sekolah ialah budaya
yang dihasilkan oleh sebahagian pelajar dan sebahagian lagi oleh golongan
tertentu supaya aktiviti pelajar dapat dikawal. Pendidikan nilai amat
diutamakan. Pembudayaan di sekolah dilaksanakan menerusi kurikulum formal dan
kurikulum tidak formal. Budaya formal sekolah adalah apa yang telah dirancang
seperti aktiviti kurikulum dan kegiatan kokurikulum. Pelajar yang pandai dan
aktif akan mendapat sanjungan pihak guru dan sekolah. Manakala pelajar yang
lemah dan kurang cerdik akan tersisih. Budaya ini menyebabkan pelajar ini akan
melakukan gelaja negatif bagi menarik perhatian pihak tertentu atau pun untuk
melepas naluri yang terhimpit. Mereka bebas memilih budaya-budaya yang dianjurkan
oleh rakan sebaya, media massa atau keluarga.Sekiranya mereka memilih budaya
negatif, maka akan wujudlah masalah sosial (Leonard 1937).
Terry
dan Kent (1993) mentakrifkan budaya sekolah sebagai "realiti
dalaman". Robbins dan Alvy (1995) pula meluaskan definisinya sebagai
"This inner reality reflects what organizational members care about, what
they are willing to spend time doing, what and how they celebrate, and what
they talk about."
Manakala
Gary (1993) menyatakan budaya sekolah sebagai, "beliefs,attitudes, and
behaviours that characterizes a school in terms of: how people treat and feel
about each other; the extent to which people feel included and appreciated; and
rituals and traditions refelecting collaboration and collegiality."
Raucek
and Warren, 1979 (dalam Ting dan Sidek, 2007) melihat kebudayaan adalah satu
cara hidup yang dikembangkan oleh sesuatu masyarakat untuk memenuhi keperluan
asasinya untuk hidup, meneruskan zuriatnya dan mengatur pengalaman sosialnya.
Perkara-perkara tersebut adalah seperti pengumpulan bahan-bahan kebendaan, pada
organisasi sosial, cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu penegetahuan,
kepercayaan dan aktiviti lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Sebagai
kesimpulan bagi huraian ini, budaya adalah sesuatu perkara yang diwarisi yang
diperturunkan dari satu generasi ke satu generasi yang seterusnya. Budaya ini
diperturunkan semasa di rumah atau di sekolah. Budaya adalah berkait rapat
dengan kemajuan. Budaya amat penting kerana ia dapat melindungi dari malapetaka
dan ancaman. Justeru itu, pihak sekolah dan ibu bapa memainkan peranan yang
penting untuk mewujudkan budaya positif dalam diri pelajar. Dengan mengamalkan
budaya yang positif, ia dapat meningkatkan pencapaian soal akademik, sosial dan
hubungan personal yang dicapai oleh sekolah dan seterusnya dapat memberi kesan
kepada negara.
Terdapat
banyak kepentingan dari segi budaya dan iklim sekolah yang boleh kita dapati.
Budaya dan iklim sekolah yang positif boleh memainkan peranan yang penting
dalam kesihatan, perkembangan emosi serta kemajuan akademik serta kokurikulum
pelajar-pelajar. Peranan budaya dan iklim yang positif jika diamalkan secara
tidak langsung, ia dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap perhubungan
interpersonal, di dalam kawasan sekolah tersebut.
Pertama adalah apabila sesebuah
sekolah itu mengamalkan budaya dan iklim yang positif dan berada dalam keadaan
yang baik secara tidak langsung potensi dan imej sekolah tersebut akan
meningkat. Apabila kurangnya kes disiplin, ataupun tiada langsung sekolah
terlibat akan dikategorikan sebagai sekolah baik atau cemerlang. Sekolah
sebegini akan menjadi tumpuan para ibu bapa untuk menghantar anak-anak mereka
ke sekolah tersebut. Contohya seperti Sek. Keb. Zainab 2, dengan mengamalkan
budaya dan iklim yang positif prestasi akademik mereka meningkat dan sekarang
sekolah tersebut dianugerahkan sebagai sekolah berprestasi tinggi.
Selain itu, guru-guru dan pelajar
akan mempunyai hubungan interpersonal yang baik. Guru-guru akan mempunyai sikap
sayang dan mengambil berat semasa di
sekolah di mana mereka bertugas dan mereka akan sentiasa mengamalkan budaya
mesra antara guru dan murid. Mereka pasti akan berasa bangga kerana berada di
sekolah tersebut yang sentiasa mengamalkan budaya dan iklim yang positif. Contohnya,
guru dan pelajar akan bertambah mesra kerana mereka sentiasa mengamalkan budaya
memberi salam dan bertanya khabar. Dalam keadaan ini, para guru akan sentiasa
berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme mereka untuk lebih
berjaya. Manakala di kalangan pelajar pula, semangat sayang dan bangga akan
sekolah mereka akan sentiasa segar dalam ingatan dan jiwa mereka. Ini
menunjukkan betapa pentingnya budaya dan iklim positif di sekolah untuk
membentuk pelajar yang berjaya.
Pengajaran dan pembelajaran di
sekolah akan meningkat kerana budaya dan iklim yang kondusif dapat meningkatkan
keberkesanan proses pengajaran pembelajaran. Pengurusan di sekolah akan dapat
berjalan dengan lancar dan teratur. Walaupun sukatan pelajaran telah
dikeluarkan oleh pihak kementerian pendidikan, tetapi guru tidak terikat dengan
satu kaedah pengajaran sahaja. Mereka bebas untuk menggunakan kaedah-kaedah
pengajaran yang difikirkan sesuai untuk proses pengajaran dan pembelajaran
mereka mengikut kreativiti sendiri. Pembelajaran yang kreatif penting untuk
menarik minat pelajar.
Seterusnya, dengan mengamalkan
budaya dan iklim yang positif ia akan dapat menarik kepercayaan orang atasan
ataupun orang luar. Dengan penampilan sekolah yang baik, serta mempunyai budaya
dan iklim yang baik mereka akan sentiasa mendapat kepercayaan daripada pihak
atasan untuk menganjurkan sesuatu aktiviti, projek ataupun kem motivasi. Pihak
atasan akan percaya dengan kemampuan sekolah-sekolah seperti ini. Apabila
sesuatu program itu berjaya dilaksanakan dengan lancar dan berkesan, pihak
penganjur tidak akan teragak-agak untuk menganjurkan sekolah tersebut pada masa
akan datang. Kerana dengan penganjuran ini, secara tidak langsung ia akan
meningkatkan imej orang atasan tersebut.
Dengan mengamalkan
budaya dan iklim yang positif dan berkesan guru akan dapat menyampaikan isi pelajaran, ilmu pengetahuan,
idea, maklumat, tunjuk ajar serta nasihat kepada murid-murid dengan baik dan
tepat tanpa menimbulkan sebarang kekeliruan, kekaburan dan salah faham. Kegagalan
guru berkomunikasi dengan berkesan bukan sahaja akan menyebabkan murid-murid
menjadi kecewa, malah lebih buruk lagi ialah objektif yang dirancang bagi
sesuatu sesi pengajaran itu tidak akan tercapai, serta sesi pengajaran
pembelajaran menjadi hambar dan membosankan.
Kepentingan dominan dengan
mengamalkan budaya dan iklim yang positif adalah sekolah tersebut akan
melahirkan keluaran pelajar-pelajar yang berkualiti. Pelajar-pelajar ini
berkuakiti kerana semasa di alam persekolahan mereka sentiasa mengamalkan
budaya yang positif dan berada dalam kawasan iklim positif. Seperti kata
pepatah, merebung buluh biarlah dari rebungnya. Pihak sekolah memainkan peranan
untuk membentuk diri pelajar apabila berada di sekolah.
Pendidikan
nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat
konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya
dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan
(1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional
“merupakan suatu pende-katan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar
manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya,
masyarakat Indonesia khususnya,” sehingga suatu proses pendidikan selalu
mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan
demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar
pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Da-lam satu konsep
sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa
penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui
pendi-dikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang
lain. Proses ini se-yogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu
sendiri.
Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan
‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil
pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam
lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Da-lam pengertian ini, hasil nyata
pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik
terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mam-pu
berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri
mau-pun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan
melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui
manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses
pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau
tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian
atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan
contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pem-budayaan dalam pendidikan yang
dialaminya.
Proses pembudayaan melalui pendidikan sangat
ditonjolkan dalam empat pilar pendidikan UNESCO, yaitu belajar untuk mengetahui
(learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do),
belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar untuk
mandiri (learning to be). Pendidikan dalam konsep empat pilar ini dengan
jelas mengacu kepada kualitas manusia yang bertumpu pada penguasaan IPTEK
melalui proses belajar menemukan dan belajar belajar (learning to learn)
secara terus menerus; penguasaan keterampilan untuk mampu melakukan tugas-tugas
dan memecahkan masalah-masalah; kemampuan memahami dan hidup dengan orang lain
dalam suasana saling membutuhkan dan saling menghormati; dan kematangan
kepribadian untuk mampu berpikir dan berbuat secara mandiri dan
bertanggungjawab.
B.
Sekolah sebagai Agen Pembudayaan
Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang
mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat
begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can
do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orangtua
sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala
pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendi-dikan,
sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap
ke-berhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa
dihu-bungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama
yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan
dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung
menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat
pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk
massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan
santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini,
paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya,
Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
Hasil pendidikan di sekolah memang tidak
sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian
juga berbagai situasi sosial, politik, eko-nomi, dan hukum di masyarakat yang
ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan
de-ngan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada
aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang
masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah
sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di
tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di
sekolah-sekolah.
Proses
pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang
tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang
di-pelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya
menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’
secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi
kemampuan komprehensi sampai ke-mampuan sintesis dalam mata pelajaran yang
bersangkutan, tetapi tidak sampai menyen-tuh sisi afektifnya, sehingga tidak
terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses
pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan
terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalik-annya, yaitu
rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada
akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
Pembudayaan akan terjadi kalau proses
pembelajaran, di samping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik,
juga menggugah secara memadai nalar afektif-nya. Secara mikro, peranan
metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang diguna-kannya akan cukup
menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa
diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membang-kitkan
penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain,
di-tuntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects
mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup
terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
Di samping sebagai pengajar, guru adalah
pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk
membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang
matematika, proses belajar-mengajar bisa diarah-kan untuk mengembangkan
nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan
terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan,
sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo
(1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta
didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam
mata pel-ajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap
demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru
itu sendiri.
Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa
membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat
manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan
secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah,
mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebe-naran. Yang penting
adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal meng-aktifkan kemampuan
afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang
diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK
sehing-ga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan
terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran
membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil
pembudayaan.
C.
Kendala-Kendala Pembudayaan dalam
Pendidikan
Ada sejumlah kendala yang perlu dibahas dalam
hubungannya dengan peningkat-an mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang
berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di
tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Demi
peningkatan mutu pendidikan di masa depan masing-masing kendala ini memerlukan
pencermatan.
1. Kendala di Tingkat Kebijakan
a. Kebijakan Menyangkut Kewibawaan Profesi Guru
Kemerosotan kewibawaan profesi guru telah lama
dirasakan, baik oleh para guru itu sendiri maupun oleh masyarakat. Ada sejumlah
faktor yang menyebabkan kemerosot-an ini, antara lain: (1) profesi guru selama
ini merupakan profesi yang berpenghasilan relatif rendah; (2) sebagai akibat
dari rendahnya gaji guru, profesi guru tidak mempunyai gengsi; (3) profesi guru
tidak menarik dan cenderung dipandang sebelah mata oleh masyarakat; (4) guru
itu sendiri menganggap profesi yang digelutinya tidak bisa dibang-gakan; dan
(5) status sosial guru di masyarakat rendah. Pemerintah dari zaman Orde Baru
sampai sekarang sebenarnya menyadari situasi merosotnya kewibawaan profesi guru
ini dan menyadari pula dampaknya terhadap mutu pendidikan. Tetapi kenyataannya
peme-rintah tidak berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini. Dari waktu ke
waktu alasan-nya tetap saja: jumlah guru terlalu besar.
Ironisnya, posisi guru sebagai pendidik dan
pembudaya justru memerlukan wiba-wa dan rasa percaya diri yang tinggi. Untuk
tampil berwibawa guru memerlukan faktor-faktor pendukung, antara lain tingkat
kesejahteraan yang memadai, kesiapan akademik, serta kelonggaran waktu untuk
memberinya peluang menyiapkan performansinya secara optimal. Sebagai pendidik
dan pembudaya, guru sebenarnya diharapkan memusatkan se-genap pengabdiannya
pada profesinya serta mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dia bisa
menjadi sangat akhli di bidangnya.
b.
Kualifikasi
Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem
pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat
sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang
pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD
dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah
sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di
LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini
bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi
yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik
pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat,
tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem
saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir
(SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa
membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang
sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
c.
Kebijakan
Ujian Nasional
Kebijakan ujian akhir nasional (UAN), dulu
Ebtanas, selama ini telah menyebab-kan orientasi pendidikan yang kurang
mendukung proses pembudayaan dalam pendi-dikan di sekolah. Proses
belajar-mengajar terlalu diorientasikan kepada ujian nasional, apapun namanya,
sehingga banyak esensi pendidikan yang penting menjadi terabaikan atau mendapat
porsi perhatian kurang dari semestinya, seperti pendidikan moral dan etika.
Karena UAN tidak mencakup semua mata pelajaran, mata pelajaran yang tidak
tercakup dalam UAN menjadi mata pelajaran ‘kelas 2’ dan ini berpengaruh
terhadap peserta didik dan guru. Kebijakan ujian nasional juga menyebabkan
sistem belajar yang exam-oriented di kalangan siswa sehingga penekanan
utama pembelajarannya terkon-sentrasi pada kemampuan kognitif. Tidak terjadi
penghayatan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya sehingga
tidak terjadi proses pembudayaan.
d.
Budaya Top-Down
Budaya top-down yang menjadi ciri khas
kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan
guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi si-kap guru terhadap peserta
didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas.’
Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan
kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau
guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di
kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan
mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik,
suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang
demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan
‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa
tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh,
se-mentara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
2. Kendala di Tingkat Sekolah
a. Kualitas Guru
Rendahnya kualitas guru merupakan kendala
serius dalam usaha pengembangan profesionalisme guru dan peningkatan mutu
pendidikan nasional. Berbicara tentang kua-litas guru, kita terbentur pada
sebuah ‘lingkaran setan’ yang tak ada ujungnya. Seperti telah diutarakan di
bagian depan tulisan ini, kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengangkat
harkat guru telah menyebabkan profesi guru menjadi tidak menarik.
Ke-tidakmenarikan profesi guru menyebabkan profesi ini ‘dijauhi’ oleh
‘bibit-bibit unggul’ yang dihasilkan masyarakat. Secara terpaksa, karena tidak
ada pilihan, profesi guru menampung ‘bibit kelas 2’ atau bahkan ‘kelas 3’ atau
‘kelas 4.’ Situasi ini makin lama bertambah parah karena rendahnya kualitas
guru berakibat rendahnya mutu pendidikan.
b. Hubungan Guru-Siswa
Seperti telah dikemukakan di bagian depan,
hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar
selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid
menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan
seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan
berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sam-pai
titik terendah.
c. Dedikasi Guru
Berbagai kendala yang dialami guru dalam menjalani
profesinya (antara lain, ken-dala kualitas profesional dirinya, kendala tingkat
kesejahteraannya, kendala gengsinya, dan sebagainya) menyebabkan melorotnya
motivasi guru untuk ‘berbuat’ lebih baik dan lebih banyak sebagai pendukug
utama keberhasilan pedidikan nasional. Dedikasi guru yang rendah merupakan
kendala sangat serius dalam profesi kependidikan karena mendi-dik yang ideal
membutuhkan dedikasi tinggi, bahkan tanpa batas. Rendahnya dedikasi guru bisa
juga bersumber pada kurang diminatinya profesi itu oleh yang bersangkutan, yang
berprofesi guru karena ‘terpaksa.’.
d. Faktor Pendukung Profesi Guru
Di samping kendala rendahnya tingkat
kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang
menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya,
untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang
memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di
kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak
cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan le-lah.
Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up
to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
e. Kurikulum Padat
Padatnya kurikulum yang harus dilaksanakan
sekolah hampir-hampir tidak me-nyisakan waktu bagi siswa untuk mendapatkan
pengalaman pendidikan di luar kurikulum (non-curricular activities).
Aktivitas ekstrakurikuler dikesampingkan, bahkan disepele-kan, sehingga kegiatan-kegiatan
yang bersifat apresiatif-afektif sangat minim. Kompeten-si sosial peserta didik
yang banyak berkembang melalui kegiatan ekstrakurikuler juga tumbuh seadanya,
dan terhadang juga perkembangan bakat serta kualitas etis-estetisnya.
f. Sistem Evaluasi
Sistem evaluasi yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah kita hanya menekankan aspek kognitif. Kecerdasan peserta didik
hanya diukur melalui kemampuannya memecah-kan masalah secara kognitif dan
mengenyampingkan kemampuan-kemampuan lain yang sebenarnya berperan cukup
penting dalam kehidupan peserta didik kelak, seperti kompe-tensi sosial,
apresiasi nilai-nilai moral, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan Budaya dengan pendidikan
Pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang
pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan
kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan
peranan peranan individu di dalam nyalah yang menentukan watak pendidikan di
suatu masyarakat.
Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk
mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa
dalam rangka menguatkan inte- gritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat
mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang
tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara
signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai
budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika
(Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik
terha-dap nilai-nilai budaya bangsanya
2. Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan
1. Kendala di Tingkat Kebijakan
- Kebijakan
Menyangkut Kewibawaan Profesi Guru
- Kualifikasi
Formal dan Sistem Pendidikan Guru
- Kebijakan
Ujian Nasional
- Budaya Top-Down
2. Kendala di Tingkat Sekolah
- Kualitas
Guru
- Hubungan
Guru-Siswa
- Dedikasi
Guru
- Faktor
Pendukung Profesi Guru
- Kurikulum
Padat
- Sistem
Evaluasi
Pembahasan mengenai aspek pembudayaan dalam
pendidikan dimaksukan untuk membersitkan secercah sinar dalam usaha
meningkatkan mutu pendidikan di masa depan, khususnya melalui pemantapan
profesionalisme guru. Walaupun secara konseptual pem-budayaan itu ‘bersenyawa’
dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal
itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat
sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersam-paikan secara
utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada
pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita
selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.