Sabtu, 02 Mei 2015

Jurnal



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan di sekolah bisa hanya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki penghayatan terhadap pengetahuan tersebut. Pendidikan seperti ini adalah pendidikan yang tidak membudayakan. Aspek pembudayaan dalam pendidikan belum banyak disentuh baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat sekolah. Sejumlah kendala teridentifkasi, seperti merosotnya kewibawaan profesi guru, budaya top-down, sistem pendidikan guru yang cognitive-oriented, serta kualitas dan dedikasi guru yang rendah. Sejumlah saran pemecahan masalah dikemukakan untuk memantapkan profesionalisme tenaga kependidikan dan untuk mewujudkan pendidikan yang membudayakan.
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari unsur sosial dan budaya. Sepanjang kegiatan kehidupan manusia, aktivitasnya tidak terlepas dari kelompok manusia lainnya. Karena hal itu dikatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial karena memerlukan kehadiran dan bantuan serta peran serta orang lain. Sosial budaya ini tercermin pada kegiatan sekelompok manusia secara bersama-sama.Hal-hal yang dikerjakan manusia, cara mengerjakannya, bentuk pekerjaan yang diinginkan merupakan unsur sebuah budaya.Maka, aspek sosial ditinjau dari hubungan antarindividu, antar masyarakat serta aspek budaya ditinjau dari proses pendidikan manusia tersebut melalui materi yang di pelajari, cara belajarnya, bagaimana gaya belajarnya, bentuk- bentuk belajar serta pengajaranya.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan yang dilakukan secara bertahap berkesinambungan di semua lingkungan yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat)unsur sosial merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir. Langeveld mengatakan “setiap bayi yang lahir dikaruani potensi sosialitas atau kemampuan untuk bergaul, saling berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung unsur saling memberi dan saling menerima (Umar Tirtarahardja, 2005:18). Aktivitas sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari, saat terjadi interaksi sosial antarindividu yang satu dengan yang lain atau individu dengan kelompok, serta antar kelompok. Didalam interaksi ini ada keterkaitan yang saling mempengaruhi (Abu Ahmadi, 2003:13)
Pendidikan adalah sala satu bentuk interaksi manusia. Pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan peranan individu di dalamnyalah yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat.
Sebagaimana di maklumi bahwa yang hendak dituju oleh pendidikan nasional ialah pendidikan yang yang menuju kepada masyarakat industri yang tidak terlepas dari tujuan politik ideologi bangsa kita sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945, Pancasila dan GBHN. Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi dan tujuan pendidikan, yaitu : Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945; Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemajuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional; Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekertu luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sekolah, yang merupakan institusi formal untuk belajar, mengharuskan sejumlah persyaratan kepada pendidikan. Akibatnya, belajar di sekolah sangat berlainan dengan yang berlaku di dalam keluarga, dalam teman-teman sebaya, atau dalam komunitas. Jadi pendidikan dalam pengertiannya yang sangat luas dapat dianggap sebagai suatu proses sosialisasi yang melaluinya seseorang mempelajari cara hidupnya.
Jika politik dipahami sebagai “ praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan- keputusan otoritatif tentang alokasi sumberdaya dan nilai- nilai sosila”. Maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga- lembaga pendidikan. Bahkan menurut Baldridge, lembaga- lembaga pendidikan dipandang sebagai sitem politik mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem- sistem politik
Pendidikan adalah suatu proses pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan perhubungan atau komunikasi dan interaksi di antara individu dengan individu yang lain seperti seorang ibu dengan anaknya atau seorang pengikut dengan ketuanya atau seumpamanya. Ia juga boleh berlaku di antara individu dengan beberapa individu yang lain seperti di antara seorang anak dengan kedua ibu bapa atau keluarganya atau dengan rakan sebaya, seorang guru dengan murid-muridnya atau seumpamanya. Oleh kerana pendidikan adalah suatu proses penerimaan dan penyebaran maklumat, maka ilmu dan budaya yang tersebar secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan fizikal, sosial dan rohani manusia. Proses ini berlaku sehingga manusia mencapai keserasian dalam kehidupannya yang perlu berinteraksi dengan individu dan masyarakat serta alam dan dalam keperluan perhubungan beribadah kepada Tuhan.
Sistem pendidikan bertujuan melahirkan insan yang seimbang daripada segi jasmani, emosi, intelek, dan rohani seterusnya berupaya berperanan sebagai warganegara produktif yang mampu mendukung visi dan misi negara. Bagi merealisasikan tujuan tersebut pemerintah telah berusaha memastikan peraturan Induk Pembangunan Pendidikan dilaksanakan dengan sebaik mungkin.
Menurut Hopkins (2005), kajian-kajian menunjukkan salah satu faktor penghalang kepada pencapaian sekolah ialah budaya organisasi sekolah. Justeru, reformasi pendidikan harus memberi fokus kepada budaya terlebih dahulu sekiranya mutu pendidikan hendak ditingkatkan. Sekolah-sekolah harus mempunyai persamaan dari segi, kurikulum, bentuk bangunan, kelayakan guru, dan prasarana. Namun yang membedakan sekolah ialah unsur budaya sekolah dan unsur inilah yang dikatakan penentu pada kebermaknaan sekolah (Bolman & Deal, 1991; Huberman, 1992; Sharifah, 2000). Memandangkan budaya dibentuk oleh warganya, maka budaya boleh berubah dan orang yang paling berpengaruh untuk mengubah dan mencorakkan budaya sekolah ialah kepemimpinan sekolah (Deal & Peterson, 1999; Sergiovanni, 2000).
Meningkatkan martabat kemanusiaan melalui pendidikan tidak bisa dicapai hanya melalui proses pembelajaran yang melibatkan aspek kognitif peserta didik saja. Tidak ju-ga hal ini bisa dicapai dengan mudah dan dalam waktu yang singkat. Prosesnya melibat-kan akumulasi pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan dimensi-dimensinya, penghayatan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta pengujian perilaku secara bertahap dalam perikehidupan yang nyata. Proses pendidikan seperti ini tidak bisa lepas dari konteks kemasyarakatan, dan karena setiap masyarakat adalah pen-dukung suatu kebudayaan, maka setiap ikhtiar pendidikan adalah juga proses pem-budayaan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Adakah hubungan budaya dengan pendidikan?
2.      Apa saja Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui hubungan budaya dengan pendidikan
2.      Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hubungan Budaya Dengan Pendidikan
Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan, 1989)
Hassan (1983) misalnya mengatakan kebudayaan berisikan : (1) norma-norma, (2) folkways yang mencakup kebiasaan, adat, dan tradisi, dan (3) mores. Sementara itu Imran Manan (1989) menunjukkan lima komponen kebudayaan sebagai berikut : (1) Gagasan, (2) Ideologi, (3) Norma, (4) Teknologi, dan (5) Benda. Agar menjadi lengkap, perlu ditambah beberapa komponen lagi yaitu : (1) Kesenian, (2) Ilmu dan (3) Kepandaian.
Kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : (1) Kebudayaan umum, misalnya kebudayaan Indonesia, (2) Kebudayaan daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Bali, Sunda, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya dan (3) Kebudayaan popular, yaitu  suatu  kebudayaan yang masa berlakunya rata-rata lebih pendek daripada kedua macam kebudayaan terdahulu.
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah : (a) Penerus keturunan dan pengasuh anak, (b) Pengembangan kehidupan berekonomi, (c) Transmisi budaya, (d) Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha esa, (e) Pengendalian sosial, (f) Rekreasi
Perubahan kebudayaan disebabkan oleh : (a) Originasi atau penemua-penemua baru, (b) Difusi atau percampuran budaya baru dengan budaya lama, (c) Reinterpretasi atau modifikasi kebudayaan agar sesuai dengan keadaan zaman
Budaya sekolah merupakan sebahagian budaya masyarakat kerana sekolah itu lahir daripada keperluan masyarakat. Semua pelajar sekolah terus didedahkan kepada norma, nilai, simbol dan bahasa yang akan mencorak masa depan mereka. Budaya sekolah ialah budaya yang dihasilkan oleh sebahagian pelajar dan sebahagian lagi oleh golongan tertentu supaya aktiviti pelajar dapat dikawal. Pendidikan nilai amat diutamakan. Pembudayaan di sekolah dilaksanakan menerusi kurikulum formal dan kurikulum tidak formal. Di dalam budaya sekolah ini, terkandungnya corak idea, norma, pemikiran, dan nilai-nilai yang menyumbang kepada pembentukan kelakuan individu. Guru Besar dan Pengetua sebagai ketua di sekolah haruslah mempelopori atau menjadi juara sesuatu budaya yang positif dan kesannya, ini akan menjadi ikutan dan akan dikenang sepanjang zaman.
Terdapat beberapa contoh budaya yang perlu disemai seperti budaya penyayang, budaya hormat-menghormati, budaya berani menyoal dan budaya membaca. setiap budaya yang dinyatakan perlulah diiringi dengan pelbagai aktiviti yang berkaitan contohnya budaya membaca dimana, projek nilam diadakan pada setiap hari sebelum sesi pengajaran dan pembelajaran (P&P) dijalankan. Di dalam projek nilam ini, setiap pelajar yang telah habis membaca sesebuah buku, haruslah mencatat laporan ringkas buku yang telah dibaca itu tadi.

Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statik. Budaya tidak tidak diertikan sebagai  sebuah kata benda, kini lebih bermaksud sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.  Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu?
Tentang pedefinisian kebudayaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tokoh antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Sebagian ahli membedakan antara pengertian budaya dengan kebudayaan. Budaya sering diartikan sebagai “konsep pemikiran”, sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, “Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983)
Marvin seperti disampaikan oleh Alan dan Philip (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Budaya sekolah merupakan sebahagian budaya masyarakat kerana sekolah itu lahir daripada keperluan masyarakat. Semua pelajar sekolah terus didedahkan kepada norma, nilai, simbol dan bahasa yang akan mencorak masa depan mereka. Budaya sekolah ialah budaya yang dihasilkan oleh sebahagian pelajar dan sebahagian lagi oleh golongan tertentu supaya aktiviti pelajar dapat dikawal. Pendidikan nilai amat diutamakan. Pembudayaan di sekolah dilaksanakan menerusi kurikulum formal dan kurikulum tidak formal. Budaya formal sekolah adalah apa yang telah dirancang seperti aktiviti kurikulum dan kegiatan kokurikulum. Pelajar yang pandai dan aktif akan mendapat sanjungan pihak guru dan sekolah. Manakala pelajar yang lemah dan kurang cerdik akan tersisih. Budaya ini menyebabkan pelajar ini akan melakukan gelaja negatif bagi menarik perhatian pihak tertentu atau pun untuk melepas naluri yang terhimpit. Mereka bebas memilih budaya-budaya yang dianjurkan oleh rakan sebaya, media massa atau keluarga.Sekiranya mereka memilih budaya negatif, maka akan wujudlah masalah sosial (Leonard 1937).
Terry dan Kent (1993) mentakrifkan budaya sekolah sebagai "realiti dalaman". Robbins dan Alvy (1995) pula meluaskan definisinya sebagai "This inner reality reflects what organizational members care about, what they are willing to spend time doing, what and how they celebrate, and what they talk about."
Manakala Gary (1993) menyatakan budaya sekolah sebagai, "beliefs,attitudes, and behaviours that characterizes a school in terms of: how people treat and feel about each other; the extent to which people feel included and appreciated; and rituals and traditions refelecting collaboration and collegiality."
Raucek and Warren, 1979 (dalam Ting dan Sidek, 2007) melihat kebudayaan adalah satu cara hidup yang dikembangkan oleh sesuatu masyarakat untuk memenuhi keperluan asasinya untuk hidup, meneruskan zuriatnya dan mengatur pengalaman sosialnya. Perkara-perkara tersebut adalah seperti pengumpulan bahan-bahan kebendaan, pada organisasi sosial, cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu penegetahuan, kepercayaan dan aktiviti lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Sebagai kesimpulan bagi huraian ini, budaya adalah sesuatu perkara yang diwarisi yang diperturunkan dari satu generasi ke satu generasi yang seterusnya. Budaya ini diperturunkan semasa di rumah atau di sekolah. Budaya adalah berkait rapat dengan kemajuan. Budaya amat penting kerana ia dapat melindungi dari malapetaka dan ancaman. Justeru itu, pihak sekolah dan ibu bapa memainkan peranan yang penting untuk mewujudkan budaya positif dalam diri pelajar. Dengan mengamalkan budaya yang positif, ia dapat meningkatkan pencapaian soal akademik, sosial dan hubungan personal yang dicapai oleh sekolah dan seterusnya dapat memberi kesan kepada negara.
Terdapat banyak kepentingan dari segi budaya dan iklim sekolah yang boleh kita dapati. Budaya dan iklim sekolah yang positif boleh memainkan peranan yang penting dalam kesihatan, perkembangan emosi serta kemajuan akademik serta kokurikulum pelajar-pelajar. Peranan budaya dan iklim yang positif jika diamalkan secara tidak langsung, ia dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap perhubungan interpersonal, di dalam kawasan sekolah tersebut.
            Pertama adalah apabila sesebuah sekolah itu mengamalkan budaya dan iklim yang positif dan berada dalam keadaan yang baik secara tidak langsung potensi dan imej sekolah tersebut akan meningkat. Apabila kurangnya kes disiplin, ataupun tiada langsung sekolah terlibat akan dikategorikan sebagai sekolah baik atau cemerlang. Sekolah sebegini akan menjadi tumpuan para ibu bapa untuk menghantar anak-anak mereka ke sekolah tersebut. Contohya seperti Sek. Keb. Zainab 2, dengan mengamalkan budaya dan iklim yang positif prestasi akademik mereka meningkat dan sekarang sekolah tersebut dianugerahkan sebagai sekolah berprestasi tinggi.
            Selain itu, guru-guru dan pelajar akan mempunyai hubungan interpersonal yang baik. Guru-guru akan mempunyai sikap sayang dan mengambil berat semasa  di sekolah di mana mereka bertugas dan mereka akan sentiasa mengamalkan budaya mesra antara guru dan murid. Mereka pasti akan berasa bangga kerana berada di sekolah tersebut yang sentiasa mengamalkan budaya dan iklim yang positif. Contohnya, guru dan pelajar akan bertambah mesra kerana mereka sentiasa mengamalkan budaya memberi salam dan bertanya khabar. Dalam keadaan ini, para guru akan sentiasa berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme mereka untuk lebih berjaya. Manakala di kalangan pelajar pula, semangat sayang dan bangga akan sekolah mereka akan sentiasa segar dalam ingatan dan jiwa mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya budaya dan iklim positif di sekolah untuk membentuk pelajar yang berjaya.
            Pengajaran dan pembelajaran di sekolah akan meningkat kerana budaya dan iklim yang kondusif dapat meningkatkan keberkesanan proses pengajaran pembelajaran. Pengurusan di sekolah akan dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Walaupun sukatan pelajaran telah dikeluarkan oleh pihak kementerian pendidikan, tetapi guru tidak terikat dengan satu kaedah pengajaran sahaja. Mereka bebas untuk menggunakan kaedah-kaedah pengajaran yang difikirkan sesuai untuk proses pengajaran dan pembelajaran mereka mengikut kreativiti sendiri. Pembelajaran yang kreatif penting untuk menarik minat pelajar. 
            Seterusnya, dengan mengamalkan budaya dan iklim yang positif ia akan dapat menarik kepercayaan orang atasan ataupun orang luar. Dengan penampilan sekolah yang baik, serta mempunyai budaya dan iklim yang baik mereka akan sentiasa mendapat kepercayaan daripada pihak atasan untuk menganjurkan sesuatu aktiviti, projek ataupun kem motivasi. Pihak atasan akan percaya dengan kemampuan sekolah-sekolah seperti ini. Apabila sesuatu program itu berjaya dilaksanakan dengan lancar dan berkesan, pihak penganjur tidak akan teragak-agak untuk menganjurkan sekolah tersebut pada masa akan datang. Kerana dengan penganjuran ini, secara tidak langsung ia akan meningkatkan imej orang atasan tersebut.
Dengan mengamalkan budaya dan iklim yang positif dan berkesan guru akan dapat menyampaikan isi pelajaran, ilmu pengetahuan, idea, maklumat, tunjuk ajar serta nasihat kepada murid-murid dengan baik dan tepat tanpa menimbulkan sebarang kekeliruan, kekaburan dan salah faham. Kegagalan guru berkomunikasi dengan berkesan bukan sahaja akan menyebabkan murid-murid menjadi kecewa, malah lebih buruk lagi ialah objektif yang dirancang bagi sesuatu sesi pengajaran itu tidak akan tercapai, serta sesi pengajaran pembelajaran menjadi hambar dan membosankan.
            Kepentingan dominan dengan mengamalkan budaya dan iklim yang positif adalah sekolah tersebut akan melahirkan keluaran pelajar-pelajar yang berkualiti. Pelajar-pelajar ini berkuakiti kerana semasa di alam persekolahan mereka sentiasa mengamalkan budaya yang positif dan berada dalam kawasan iklim positif. Seperti kata pepatah, merebung buluh biarlah dari rebungnya. Pihak sekolah memainkan peranan untuk membentuk diri pelajar apabila berada di sekolah.
Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional “merupakan suatu pende-katan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya,” sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Da-lam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendi-dikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini se-yogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Da-lam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mam-pu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri mau-pun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pem-budayaan dalam pendidikan yang dialaminya.
Proses pembudayaan melalui pendidikan sangat ditonjolkan dalam empat pilar pendidikan UNESCO, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar untuk mandiri (learning to be). Pendidikan dalam konsep empat pilar ini dengan jelas mengacu kepada kualitas manusia yang bertumpu pada penguasaan IPTEK melalui proses belajar menemukan dan belajar belajar (learning to learn) secara terus menerus; penguasaan keterampilan untuk mampu melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah-masalah; kemampuan memahami dan hidup dengan orang lain dalam suasana saling membutuhkan dan saling menghormati; dan kematangan kepribadian untuk mampu berpikir dan berbuat secara mandiri dan bertanggungjawab.
B.     Sekolah sebagai Agen Pembudayaan
Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orangtua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendi-dikan, sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap ke-berhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihu-bungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, eko-nomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan  de-ngan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di sekolah-sekolah.
 Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang di-pelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai ke-mampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyen-tuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalik-annya, yaitu rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, di samping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektif-nya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang diguna-kannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membang-kitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, di-tuntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajar-mengajar bisa diarah-kan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pel-ajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri.
Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebe-naran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal meng-aktifkan kemampuan afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehing-ga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. 
C.    Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan
Ada sejumlah kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkat-an mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Demi peningkatan mutu pendidikan di masa depan masing-masing kendala ini memerlukan pencermatan.
1. Kendala di Tingkat Kebijakan
a.   Kebijakan Menyangkut Kewibawaan Profesi Guru
Kemerosotan kewibawaan profesi guru telah lama dirasakan, baik oleh para guru itu sendiri maupun oleh masyarakat. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kemerosot-an ini, antara lain: (1) profesi guru selama ini merupakan profesi yang berpenghasilan relatif rendah; (2) sebagai akibat dari rendahnya gaji guru, profesi guru tidak mempunyai gengsi; (3) profesi guru tidak menarik dan cenderung dipandang sebelah mata oleh masyarakat; (4) guru itu sendiri menganggap profesi yang digelutinya tidak bisa dibang-gakan; dan (5) status sosial guru di masyarakat rendah. Pemerintah dari zaman Orde Baru sampai sekarang sebenarnya menyadari situasi merosotnya kewibawaan profesi guru ini dan menyadari pula dampaknya terhadap mutu pendidikan. Tetapi kenyataannya peme-rintah tidak berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini. Dari waktu ke waktu alasan-nya tetap saja: jumlah guru terlalu besar.
Ironisnya, posisi guru sebagai pendidik dan pembudaya justru memerlukan wiba-wa dan rasa percaya diri yang tinggi. Untuk tampil berwibawa guru memerlukan faktor-faktor pendukung, antara lain tingkat kesejahteraan yang memadai, kesiapan akademik, serta kelonggaran waktu untuk memberinya peluang menyiapkan performansinya secara optimal. Sebagai pendidik dan pembudaya, guru sebenarnya diharapkan memusatkan se-genap pengabdiannya pada profesinya serta mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dia bisa menjadi sangat akhli di bidangnya.
b.      Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
c.       Kebijakan Ujian Nasional
Kebijakan ujian akhir nasional (UAN), dulu Ebtanas, selama ini telah menyebab-kan orientasi pendidikan yang kurang mendukung proses pembudayaan dalam pendi-dikan di sekolah. Proses belajar-mengajar terlalu diorientasikan kepada ujian nasional, apapun namanya, sehingga banyak esensi pendidikan yang penting menjadi terabaikan atau mendapat porsi perhatian kurang dari semestinya, seperti pendidikan moral dan etika. Karena UAN tidak mencakup semua mata pelajaran, mata pelajaran yang tidak tercakup dalam UAN menjadi mata pelajaran ‘kelas 2’ dan ini berpengaruh terhadap peserta didik dan guru. Kebijakan ujian nasional juga menyebabkan sistem belajar yang exam-oriented di kalangan siswa sehingga penekanan utama pembelajarannya terkon-sentrasi pada kemampuan kognitif. Tidak terjadi penghayatan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya sehingga tidak terjadi proses pembudayaan.
d.      Budaya Top-Down
Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi si-kap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas.’ Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, se-mentara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
2.  Kendala di Tingkat Sekolah
a.  Kualitas Guru
Rendahnya kualitas guru merupakan kendala serius dalam usaha pengembangan profesionalisme guru dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Berbicara tentang kua-litas guru, kita terbentur pada sebuah ‘lingkaran setan’ yang tak ada ujungnya. Seperti telah diutarakan di bagian depan tulisan ini, kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengangkat harkat guru telah menyebabkan profesi guru menjadi tidak menarik. Ke-tidakmenarikan profesi guru menyebabkan profesi ini ‘dijauhi’ oleh ‘bibit-bibit unggul’ yang dihasilkan masyarakat. Secara terpaksa, karena tidak ada pilihan, profesi guru menampung ‘bibit kelas 2’ atau bahkan ‘kelas 3’ atau ‘kelas 4.’ Situasi ini makin lama bertambah parah karena rendahnya kualitas guru berakibat rendahnya mutu pendidikan.
b.  Hubungan Guru-Siswa
Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sam-pai titik terendah.
c.  Dedikasi Guru
Berbagai kendala yang dialami guru dalam menjalani profesinya (antara lain, ken-dala kualitas profesional dirinya, kendala tingkat kesejahteraannya, kendala gengsinya, dan sebagainya) menyebabkan melorotnya motivasi guru untuk ‘berbuat’ lebih baik dan lebih banyak sebagai pendukug utama keberhasilan pedidikan nasional. Dedikasi guru yang rendah merupakan kendala sangat serius dalam profesi kependidikan karena mendi-dik yang ideal membutuhkan dedikasi tinggi, bahkan tanpa batas. Rendahnya dedikasi guru bisa juga bersumber pada kurang diminatinya profesi itu oleh yang bersangkutan, yang berprofesi guru karena ‘terpaksa.’.
d.  Faktor Pendukung Profesi Guru
Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan le-lah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
e.   Kurikulum Padat
Padatnya kurikulum yang harus dilaksanakan sekolah hampir-hampir tidak me-nyisakan waktu bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman pendidikan di luar kurikulum (non-curricular activities). Aktivitas ekstrakurikuler dikesampingkan, bahkan disepele-kan, sehingga kegiatan-kegiatan yang bersifat apresiatif-afektif sangat minim. Kompeten-si sosial peserta didik yang banyak berkembang melalui kegiatan ekstrakurikuler juga tumbuh seadanya, dan terhadang juga perkembangan bakat serta kualitas etis-estetisnya.
f.  Sistem Evaluasi
Sistem evaluasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita hanya menekankan aspek kognitif. Kecerdasan peserta didik hanya diukur melalui kemampuannya memecah-kan masalah secara kognitif dan mengenyampingkan kemampuan-kemampuan lain yang sebenarnya berperan cukup penting dalam kehidupan peserta didik kelak, seperti kompe-tensi sosial, apresiasi nilai-nilai moral, dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan Budaya dengan pendidikan
Pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan peranan individu di dalam nyalah yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat.
Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan inte- gritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terha-dap nilai-nilai budaya bangsanya
2. Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan
1. Kendala di Tingkat Kebijakan
- Kebijakan Menyangkut Kewibawaan Profesi Guru
- Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
- Kebijakan Ujian Nasional
- Budaya Top-Down
2.  Kendala di Tingkat Sekolah
- Kualitas Guru
- Hubungan Guru-Siswa
- Dedikasi Guru
- Faktor Pendukung Profesi Guru
- Kurikulum Padat
- Sistem Evaluasi
Pembahasan mengenai aspek pembudayaan dalam pendidikan dimaksukan untuk membersitkan secercah sinar dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di masa depan, khususnya melalui pemantapan profesionalisme guru. Walaupun secara konseptual pem-budayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersam-paikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.